- Jangan menilai sebuah film dari trailer-nya. Nasihat berharga ini sangat manjur diterapkan pada 'Skyline'. Selama 92 menit, duo sutradara Colin dan Greg Strause menyuguhkan sebuah efek spesial yang memanjakan mata. Monster-monster elektrik berbagai bentuk menyerang dengan tentakel dan sulur mereka, pesawat tempur alien yang canggih dilawan jet tempur, dan helikopter militer AS bertarung seru. Tapi apakah cukup? Ternyata tidak.
Akhirnya, kita harus mengakui bahwa dalam film narasi seperti ini, cerita adalah tulang punggung kesuksesan. Mengutip kaisar seluloid Akira Kurosawa, dengan skenario yang baik, mungkin aktor bisa bermain buruk. Tapi, dengan cerita yang jelek maka sebaik apapun sutradara dan aktornya tidak akan menghasilkan film apik. Dan, itu terjadi pada 'Skyline'.
Harusnya, aksi perang dan teror alien itu bisa membawa perasaan penonton kepada sesuatu yang diharapkan filmmaker-nya. Nyatanya, tidak. Apalagi kalau kita sudah punya referensi film ber-genre sejenis, seperti 'War of the Worlds', 'Cloverfield', 'Independence Day', serial televisi 'V', dan 'Monsters'.
Film ini, sebenarnya, ingin menggarisbawahi kisah klasik Hollywood: bahwa tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan cinta—baik itu konflik, ego, atau makluk luar angkasa sekalipun. Tapi, kenyataannya, kita selalu dibuat bertanya-tanya: kapankah film ini berakhir? Sebab, begitu kita menduga film akan tamat, maka tiba-tiba ada hal—maunya jadi 'twist'—yang terkesan dipaksakan dan dipanjang-panjangkan.
Ceritanya sebenarnya sederhana saja. Waktu itu ada pesta dan pasangan Jarrod (Eric Balfour) dan Elaine (Scottie Thompson) diundang ke apartemen mewah Terry (Donald Faison) yang tengah berulang tahun. Pasangan itu sedang cek-cok soal jadi-tidaknya mereka pindah ke Los Angeles, sementara si cewek hamil muda—hal yang tak diinginkan pacarnya. Pagi harinya, mereka menyadari bahwa ada serangan alien di segala penjuru, dan militer AS sedang melawan mereka. Orang-orang itu pun terjebak di apartemen mewah itu.
Sebenarnya, ada pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Yaitu semangat, katakanlah, 'indie'. Kedua sutradara tidak mendapatkan bantuan finansial dari studio besar, dan film ini dibiayai sepenuhnya oleh mereka sendiri, dan sebagian besar disyut di apartemen Greg di Marina Del Rey, California. Inilah yang menyebabkan film ini berbiaya murah, hanya $500 ribu saja.
Sayangnya, mereka berpikir bahwa efek spesial digital jauh lebih penting, dan untuk itu mereka menghabiskan $10 juta. Andai mereka lebih fokus pada cerita! Apakah ini karena latar belakang Strause bersaudara yang mengawali karier mereka sebagai ahli efek spesial di serial TV 'The X-Files' (1995)? Mereka juga menggarap efek visual (sebagai artis hingga supervisor) di berbagai film semacam 'The Nutty Professor', 'Titanic', 'Avatar', 'Fantastic Four', dan 'Terminator 3: Rise of The Machines'.
Jadi, apakah pelajaran berharga film ini? Pertama, sekali lagi, jangan menilai film dari trailer-nya saja. Kedua, pada film naratif, ide-gagasan-cerita-skenario jauh lebih penting dari efek spesial. Dengan cerita yang baik, efek digital pas-pasan termaafkan. Sebaliknya, sekeren apapun visual dan efeknya, tak akan menolong cerita buruk menjadi bagus.
Sayang sekali, padahal semangat independennya sudah oke. Bandingkan dengan 'Alien vs Predator' yang juga mereka buat, namun dibiayai studio besar, dengan penyakit yang sama: efek keren, cerita busuk. Harusnya lebih eksploratif dan bebas menuangkan ide gila.
Ekky Imanjaya - detikMovie
Judul : 'Skyline': Efek Visual Saja Tidak Cukup.
Deskripsi : Artikel ini menginformasikan tentang 'Skyline': Efek Visual Saja Tidak Cukup. secara lengkap dan detail.