fashingnet.com- Sebagaimana revolusi manapun di dunia, revolusi PSSI yang biasa disingkat 'RevoluPSSI' tak hanya perjuangan melakukan perubahan secara cepat dan radikal. Lebih dari itu, ia perjuangan melawan lupa, sebuah perjuangan menolak untuk lupa. Dan ini yang terberat.
Perjuangan melawan lupa adalah yang terberat, karena rezim lama, kekuatan lama yang bercokol, menolak untuk tumbang. Kekuatan lama selalu mencoba mencari jalan untuk kembali, memunculkan pencitraan baru, memanfaatkan ingatan pendek publik.
Dalam konteks RevoluPSSI, saat ini kehebohan terjadi, menyusul upaya PT Liga Indonesia yang dikomandani Joko Driyono untuk menggelar Liga Super Indonesia dengan dukungan empat orang anggota komite eksekutif PSSI. Sejumlah klub menyatakan menolak mengikuti Indonesian Premier League (IPL) yang digelar PSSI dengan berbagai alasan. Alasan yang menunjukkan bagaimana 'amnesia sejarah' berjangkit.
Alasan pertama yang mengemuka adalah PT LI sebagai produk kepengurusan Nurdin Halid dianggap lebih profesional daripada PT Liga Prima Indonesia Sportindo. Terus terang, saya tidak tahu parameter apa yang membuat PT LI dianggap lebih profesional. Jika ini sekadar klaim, maka ini layak dipertanyakan.
Setelah Nurdin berkuasa lagi di tahun 2007, ikhtiar untuk menciptakan kompetisi profesional dikampanyekan. PT LI dianggap sebagai salah satu perwujudannya. Selama bertahun-tahun, PSSI dan PT LI menjanjikan upaya untuk mendongkrak profesionalisme klub. Tapi dari tahun ke tahun, selalu ada kisah yang berulang: penggunaan APBD besar-besaran di hampir semua daerah untuk kepentingan klub yang disebut profesional.
PSSI dan PT LI belum berhasil menciptakan stimulus yang mendorong klub untuk profesional, dan tak lagi tergantung pada APBD. Mari kita berhitung, ada berapa klub yang sudah 'naik status' tak lagi dibiayai APBD? Klub yang disebut percontohan oleh PSSI pun kembang-kempis, kendati sudah mendapat suntikan sponsor dari perusahaan milik salah satu pengurus PSSI sendiri.
Dana APBD memunculkan ketergantungan. Pengurus klub tinggal main lobi ke DPRD dan pemerintah setempat dengan mengatasnamakan sentimen kedaerahan, agar setiap tahun mendapat jatah APBD.
Sementara, pemberian dana APBD dengan model hibah ini sulit dipertanggungjawabkan dengan model akuntansi yang sehat. Ini dikarenakan kompetisi sepakbola yang diklaim profesional itu masih memaksa klub mengeluarkan biaya untuk keperluan nonteknis pemenangan pertandingan. Suasana kompetisi, meminjam apa yang dikatakan mantan ketua umum Persebaya Saleh Ismail Mukadar, 'bagai dalam kolam kotor'.
Dari sisi pelaksanaan kompetisi, setiap tahun kita selalu mendengar keluhan tentang kualitas wasit dan tidak profesionalnya aparat pertandingan yang dikelola PT LI. Sesuatu yang, anehnya, justru tak terdengar lagi saat ini, kala klub-klub mendukung PT LI untuk tetap menyelenggarakan kompetisi.
Dari sisi pertanggungjawaban pun, PT LI bisa dibilang ganjil dan jauh dari kaidah profesional. Sebagai badan yang mendapat amanat dan mandat dari PSSI untuk menjalankan kompetisi profesional, pertanggungjawaban yang dilakukan PT LI seharusnya kepada institusi, bukan personal. Namun yang terjadi, PT LI malah memilih menyerahkan hasil audit kepada ketua umum PSSI yang lama. Mereka menolak diaudit oleh lembaga auditor bertaraf internasional yang ditunjuk PSSI kepengurusan Johar Arifin.
Di lain pihak, parameter tidak profesional yang ditudingkan ke PT LPIS pun tidak jelas. PT LPIS belum lagi mulai bekerja. Kompetisi belum digelar. Tentu sulit mengukur sesuatu hal yang belum terjadi.
Jika tudingan tak profesional dikaitkan dengan masalah penjadwalan, verifikasi, maupun persiapan kompetisi, itu pun masih bisa dipertanyakan parameternya. Kita tahu, kepengurusan PSSI di bawah Johar Arifin tidak menikmati 'privilese' yang dimiliki kepengurusan Nurdin Halid saat terpilih untuk kedua kalinya di tahun 2007.
Johar terpilih dalam sebuah kongres luar biasa yang sah, dan bukan sosok yang melanggar statuta. Namun, sejak awal terpilih, kepengurusannya digoyang oleh sejumlah orang dengan alasan 'pelanggaran statuta'.
Bandingkanlah dengan kepengurusan periode Nurdin Halid yang kedua. Sempat masuk bui, Nurdin malah tenang-tenang saja menjalankan PSSI. Tak terdengar perlawanan keras pengurus PSSI provinsi dan klub dengan alasan Nurdin melanggar statuta, sebagaimana yang dituduhkan terhadap Johar.
Satu-satunya perlawanan keras dari klub, dalam catatan saya, justru berasal dari Saleh Ismail Mukadar yang baru saja terpilih sebagai ketua umum Persebaya tahun 2008. Saleh saat itu sempat hendak menggalang suara klub untuk melawan Nurdin, namun gagal. Ketundukan dan kepatuhan klub-klub terhadap Nurdin Halid bertahan, bahkan dalam Kongres Sepakbola Nasional di Malang yang diharapkan membawa perubahan.
Alasan berikutnya yang sering digunakan oleh klub yang menolak kompetisi IPL adalah kehadiran enam klub tambahan, terutama empat klub yang pernah ikut kompetisi 'swasta' Liga Primer Indonesia. Empat klub itu adalah Persema, Persibo, PSM, dan Persebaya. Dengan tambahan dua klub lain, yakni Bontang FC dan PSMS, IPL dengan 24 klub dianggap tidak sesuai dengan hasil kongres PSSI di Bali medio awal tahun 2011 silam. Klub penentang menilai masuknya empat klub eks LPI sama saja tidak menghormati klub yang 'berdarah-darah' untuk naik kasta.
Alasan di atas menunjukkan adanya amnesia akut terhadap perilaku PSSI masa kepengurus Nurdin Halid. Kebiasaan mengubah-ubah komposisi peserta liga adalah kebiasaan PSSI di bawah kepengurusan Nurdin yang tak pernah diprotes oleh klub-klub PSSI. Terakhir, di Divisi I, ada klub yang sebenarnya sudah tak lolos babak penentuan, namun pada akhirnya justru bisa naik kasta Divisi Utama.
Ini berbeda dengan penambahan empat klub eks LPI ke dalam kasta tertinggi. FIFA sudah dengan terang-benderang mengamanatkan kepada PSSI untuk mengakomodasi LPI dalam naungan federasi. Masuknya empat klub tersebut adalah bagian dari pelaksanaan amanat FIFA, untuk mengakomodasi LPI. Lagipula, empat klub tersebut adalah anggota lama federasi. Klub-klub lain peserta LPI justru dibubarkan dan melebur dengan klub-klub yang sudah ada.
Peleburan dua kompetisi juga bukan barang asing bagi Indonesia. Tahun 1994, Liga Sepakbola Utama (Galatama) yang tidak mengenal sistim degradasi-promosi langsung dilebur dengan Divisi Utama Perserikatan yang bertahun-tahun menganut sistim degradasi dan promosi.
Protes klub penentang PSSI dengan alasan 'kehormatan klub' juga menunjukkan betapa mudah dilupakannya 'cacat besar' kompetisi Liga Super Indonesia musim 2009/2010. Kita masih ingat bagaimana partai Persik kediri melawan Persebaya Surabaya harus diulang sampai berkali-kali hanya karena tuan rumah kesulitan menggelarnya.
Boleh jadi ini keganjilan satu-satunya di dunia sepakbola. Dan Saat itu, tak ada satu pun klub yang berteriak, bahwa ada pelanggaran aturan yang dilakukan PSSI dan PT LI. Keganjilan ini pada akhirnya membuat Persebaya menyeberang ke Liga Primer Indonesia, dan menjadi tonggak perlawanan terhadap Nurdin Halid.
Mereka yang mendukung PT LI menggelar ISL saat ini beralasan, bahwa apa yang dilakukan PT LI sama dengan yang dilakukan konsorsium LPI mengelar liga tersendiri. Sekali lagi, alasan ini menunjukkan amnesia sejarah. PT LI yang hendak menggelar LSI saat ini dengan konsorsium LPI saat itu jelas sangat berbeda.
Sejak awal, PT LI adalah lembaga yang ditugaskan khusus oleh PSSI untuk menjalankan kompetisi resmi. Pertanggungjawabannya jelas kepada PSSI. Sebagai federasi tertinggi sepakbola di Indonesia, PSSI berposisi di atas PT LI dan berhak menentukan apakah bakal tetap memberikan tugas dan tanggungjawab kepada Joko Driyono dan kawan-kawan.
Jika kemudian saat ini PT LI menolak dilucuti kewenangannya oleh federasi yang memberikan mandat, tentu menjadi aneh. Apalagi jika kemudian PT LI ngotot menggelar kompetisi sendiri dan menentukan 18 peserta kompetisi ISL berdasarkan versinya sendiri. Padahal, sejak awal PT LI menggelar kompetisi dalam integrasi sistim kompetisi berjenjang PSSI.
Jadi, daripada beramnesia sejarah, saatnya kita menyambut guliran kompetisi Indonesian Premier League. Kita berharap dalam kompetisi ini, PSSI era Johar Arifin tidak mengulangi kesalahan kepengurusan sebelumnya.
Paling penting adalah menciptakan kompetisi yang bersih dari faktor nonteknis yang memungkinkan munculnya 'biaya ekonomi tinggi', karena dengan demikian itu akan mendongkrak iklim investasi. PSSI perlu menciptakan stimulus untuk membuat klub-klub mandiri. Klub-klub punya pilihan: profesional tanpa APBD, atau berstatus amatir jika memang tetap ingin mengelola dana APBD.
Publik sepakbola Indonesia berharap, mereka yang ingin mengakhiri kepengurusan Johar yang masih berjalan tertatih untuk segera menyadari diktum Goenawan Mohamad ini: 'revolusi tidak bisa dipesan, revolusi tidak bisa difotokopi'. Saya kira begitu juga RevoluPSSI.
Jika hari ini, ada dari sebagian kita yang merasa kecewa, saya meyakini apa yang dikatakan Goenawan Mohamad: 'Revolusi-revolusi dimulai dengan harapan dan berujung kekecewaan. Tapi yang tertindas sering memilih lebih baik kecewa ketimbang putus asa'. Saya kira, RevoluPSSI yang saat ini berjalan dan dijalankan oleh kepengurusan Johar adalah ikhtiar itu, sebuah ikhtiar karena publik sepakbola tak ingin berputus asa dengan kondisi saat ini.
Selamat datang Indonesian Premier League.
Jangan Lupa Di Like Ya Gan
Judul : RevoluPSSI Melawan Lupa
Deskripsi : Artikel ini menginformasikan tentang RevoluPSSI Melawan Lupa secara lengkap dan detail.