fashingnet.com-Cristiano Ronaldo tengah bersedih. Pemain termahal dunia itu secara terus terang mengakuinya pasca pertandingan melawan Granada, di mana ia sukses mencetak dua gol.
Madridista dan para penikmat sepakbola lalu serentak bertanya: "Por Que, Ronaldo? Por Que?"
Apa masalah Ronaldo? Apakah tubuhnya tengah bermasalah? Cadangan uangnya tengah menipis? Atau gaya rambutnya sudah tak lagi menarik? Tidak, tentu saja.
Dengan uangnya sekarang Ronaldo bisa saja menyantuni seperempat anak miskin di benua Afrika. Melalui paras tampan dan dada bidangnya, ia tentu tak kesulitan membuat puluhan Paris Hilton patah hati. Model rambutnya? Oh, Marlon Brando pasti akan berubah jadi Wong Fei Hung jika melihat betapa klimisnya rambut Ronaldo.
Begitulah.
Ronaldo, sebagaimana ikon-ikon dunia lain yang masih hidup atau telah hijrah ke alam lain, juga telah mewujud sebagai --merujuk pada istilah mahzab Frankurt soal kapitalisme modern-- "fetisme komoditas": sebuah benda yang dipuja-puja karena "harga"-nya, karena "citra"-nya, bukan esensinya.
Ronaldo di benak jutaan orang -- baik pria, wanita, atau transgender -- adalah sebuah fantasi. Jika ada kuis, katakanlah di Spanyol sana, khusus wanita yang hadiahnya tidur di dada Ronaldo selama satu jam, saya percaya ratingnya akan nyaris sempurna.
Hal tak jauh berbeda juga tentu akan dilakukan para queer, atau kaum transgender, jika tengah bersemuka dengan Ronaldo.
Saya membayangkan, barisan queer itu sedang berjejer di pintu keluar Santiago Bernabeu sembari berteriak lantangmemplesetkan lagu Sex Pistols, "God Save the Queer!", saat Ronaldo melambaikan tangannya pada mereka, dengan sedikit senyum di bibirnya yang tipis itu.
Fantasi tentang Ronaldo semakin mengawang jika kita tengok bagaimana orang-orang macam Michael Cox, jurnalis Guardianasal Inggris yang doyan hal-hal njlimet soal taktik sepakbola seperti yang ia lakukan di Zonal Marking itu, mencatat dan menganalisa Ronaldo melalui deretan angka-angka statistik.
Angka-angka yang keluar lantas membuat orang mengenyitkan dahi. Tak jarang beberapa orang menganggap Ronaldo adalah manusia bionik, atau malah sejenis terminator dari masa depan, atau mungkin cyborg rekayasa ciptaan FIFA.
Dan laki-laki. Ah... siapa yang tak ingin sepertinya? Daya tarik Ronaldo terlalu besar, sangat besar, sampai-sampai dalam kebencian kita kepadanya pun membuat kita selalu ingin tahu kabar tentangnya.
Oleh karena kungkungan demi kungkungan bernama fantasi dan fetisme komoditas tadi, Ronaldo jadi jarang dipahami sebagai manusia.
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hendak mengajukan satu pertanyaan menarik soal Ronaldo: Mengapa ia menjadi sangat atletis dan cenderung menjaga tubuhnya dengan ketat?
Jawabannya tentu karena dia seorang pesepakbola yang mesti bermain sebanyak 3-4 kali dalam seminggu. Tetapi ternyata ada alasan lain yang lebih manusiawi: karena sang ayah, Jose Dinis Aveiro, meninggal dengan status sebagai pecandu alkohol.
Sejak itu, Ronaldo yang sangat mencintai ayahnya, bersumpah tak akan pernah meminum satu tetes pun khamr sampai akhir hayat dan akan terus menjaga kesehatan tubuhnya.
Maka, jika boleh menjawab mengapa Ronaldo bersedih? Karena ia manusia, sesulit dan sesederhana itu saja.
Jangan Lupa Di Like Ya Gan
Judul : Por Que, Ronaldo? Por Que?
Deskripsi : Artikel ini menginformasikan tentang Por Que, Ronaldo? Por Que? secara lengkap dan detail.