fashingnet.com-Jakarta - Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dinilai gagal melindungi kaum minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama.
Ini terbukti makin agresifnya serangan gerombolan militan dan intimidasi yang mereka lakukan terhadap kelompok minoritas penganut agama, seperti Ahmadiyah, Muslim Syiah, dan kelompok Kristen.
Laporan Human Right Watch (HRW) yang dirilis di Jakarta, Kamis (28/2), mengungkapkan hal tersebut.
Direktur HRW di Asia, Brad Adams mengatakan, Presiden Yudhoyono harus tegas dan minta zero tolerance terhadap siapa pun yang main hakim sendiri atas nama agama.
“Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan tentu saja merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang melindungi hak asasi manusia,” ungkapnya di Jakarta, Kamis.
HRW melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, Sumatera, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan. Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara, dan aktivis masyarakat sipil.
Hasilnya, sebuah laporan sepanjang 120 halaman berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” yang merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan serangan terhadap rumah-rumah ibadah serta anggota minoritas agama.
Temuan HRW menyebut gerombolan militan ini makin lama makin agresif. Sasaran mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen, maupun Muslim Syiah. Satu lembaga pemantau kekerasan mencatat 264 kasus kekerasan terjadi tahun lalu.
Menurut Adams, faktor kepemimpinan nasional sangat esensial. Presiden Yudhoyono, menurutnya, perlu tegas dalam hal penegakan hukum. “Ia harus mengumumkan bahwa setiap pelaku kekerasan akan diadili, serta menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama,” ungkap Adams.
Salahkan Minoritas
Yang menarik dari temuan HRW, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan justru dengan menyalahkan korban minoritas. Para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak dihukum.
Dalam dua kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama, namun ada juga—termasuk Menteri Agama Suryadharma Ali— yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Presiden Yudhoyono juga gagal menggunakan kekuasaannya guna membela warga negara Indonesia dari kaum minoritas agama, serta tak pernah secara efektif mendisiplinkan anggota-anggota kabinet yang bandel menganjurkan pelanggaran.
Dalam suatu pidato pada Maret 2011, misalnya, Menteri Agama mengatakan, “Saya memilih Ahmadiyah dibubarkan. Jelas Ahmadiyah menentang Islam.” Pada September 2012, dia mengusulkan warga Syiah pindah ke Islam Sunni. Namun atas sikapnya tersebut, Suryadharma Ali tak menerima sanksi apa pun.
HRW juga menemukan organisasi militan yang membawa bendera Islam, termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam, sering dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Mereka memberikan pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-muslim, serta “sesat” kepada kalangan muslim yang tak sama dengan mereka.
Sebelumnya, Setara Institute, lembaga yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, pernah melaporkan naiknya kekerasan pada minoritas agama, dari 244 pada 2011 jadi 264 pada 2012. Wahid Institute, kelompok sipil lain yang juga berbasis di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran kebebasan beragama dan 184 peristiwa intoleransi agama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.
Dihubungi SH, Kamis, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan tingginya angka kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas akibat ketidaktegasan pemerintah dalam menindak pelaku-pelaku kekerasan tersebut.
Padahal, ketegasan oleh pemerintah sangat perlu dilakukan sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi, yaitu menjamin kebebasan beragama rakyat Indonesia. "Selain itu, ketegasan pemerintah diperlukan untuk menimbulkan efek jera pada kelompok-kelompok intoleran lainnya agar tidak melakukan perbuatan pemaksaan kehendak pada kelompok lain," ungkapnya.
Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada kelompok-kelompok intoleran, yang terjadi selama ini, menurutnya, seperti telah memberi angin kepada pihak-pihak intoleran tersebut untuk memperluas aksinya. “Awalnya kasus tersebut hanya terjadi di satu daerah, tapi kini banyak daerah terjadi tindakan intoleransi tersebut,” ungkapnya.
Akibat ketidakberanian pemerintah tersebut, Bonar menuding bahwa pemerintah tidak menganggap penting masalah-masalah kekerasan pada kelompok minoritas. Padahal di satu sisi pemerintah terlihat sangat gagah dalam memerangi terorisme. Namun di sisi lain pemerintah tidak berani menindak para pelaku kekerasan pada kelompok minoritas.
HRW menilai sejumlah lembaga negara yang berperan dalam pelanggaran kebebasan beragama, termasuk Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang menginduk pada Kejaksaan Agung, serta lembaga semi-pemerintah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menggerogoti kebebasan beragama dengan mengeluarkan fatwa terhadap anggota-anggota agama minoritas, sekaligus memanfaatkan kedudukan mereka untuk mendesak kriminalisasi terhadap “penoda agama”.
Naiknya kekerasan terhadap minoritas agama—dan kegagalan pemerintah bersikap tegas—melanggar UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama, maupun hukum internasional.
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Indonesia pada 2005, menetapkan, “Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompok lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Penyiksaan dan Diskriminasi
Dalam laporannya, HRW mengungkap pengakuan Ahmad Masihuddin (25), warga Ahmadiyah, korban luka berat dalam serangan massa di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011, setelah polisi di lokasi kejadian membiarkan serangan. Tiga kawannya tewas dibunuh.
“Mereka menyeret saya dari sungai. Mereka pegang tangan saya dan melepas sabuk saya dengan parang. Mereka lepas kaos, celana dan kaos dalam saya. Saya hanya pakai celana dalam. Mereka ambil uang Rp 2,5 juta dan BlackBerry saya. Mereka lepaskan celana dalam saya dan mau memotong alat kelamin. Saya terbaring posisi bayi. Saya hanya berusaha melindungi muka saya, tapi mata kiri saya ditikam. Kemudian saya dengar mereka teriak, ‘Sudah mati, sudah mati’,” kisahnya.
Ada juga pengakuan Dewi Kanti (36), penulis dan seniman Sunda Wiwidan dari Cigugur, Jawa Barat, yang mengalami diskriminasi karena Indonesia hanya mengakui enam agama dan meminggirkan ratusan kepercayaan lokal, seperti dirinya sebagai “keyakinan mistik” yang membuat para penganutnya kesulitan menikah, mengajukan akta kelahiran, dan mendapatkan pelayanan lain.
Jangan Lupa Di Like Ya Gan