fashingnet.com-Ibarat kisah wayang, episode perang Bharatayudha sudah mendekati klimaks.
Saat ini Prabu Salya didapuk jadi panglima perang Hastinapura setelah menantunya, Adipati Karna, gugur dipenggal Pasopati Arjuna. Prabu Salya adalah seorang raja sepuh yang sakti mandraguna, sedikit pongah, senang pujian, dan parahnya, justru di puncak pertempuran, ia terbelenggu oleh sikap gamang dan penuh dengan keraguan. Suatu sikap yang tak semestinya dipelihara oleh seorang panglima! Tapi Prabu Salya juga manusia, dan sikapnya tentu ada alasannya…
Bagaimana tidak? Semua yang bertempur di medan laga saat ini adalah masih keluarga sendiri. Sulung Kurawa, Prabu Duryudhana adalah menantunya yang menikah dengan Banowati. Menantunya yang kedua, Prabu Baladewa dari Mandura memilih tidak ikut bertempur karena baginya semua masih kerabat, tapi pada lain riwayat dikisahkan Baladewa disiasati adiknya, Sri Kresna, untuk bertapa di Grojogan Sewu, sehingga tak menyadari Bharatayudha sudah pecah. Baladewa menikahi Erawati. Adapun Adipati Karna, menantu ketiga yang baru saja gugur dan sempat disaisi kereta kudanya oleh sang mertua itu, menikahi Surtikanti. Itu dari pihak Kurawa.
Sementara dari pihak Pandawa, Prabu Salya yang semasa muda gagah tampan bernama Narasoma, adalah kakak dari Madrim, istri kedua Pandu Dewanata, yang juga ibunda dari kembar Nakula - Sadewa, saudara seayah lain ibu dari Yudhistira, Bima, dan Arjuna yang terlahir dari rahim ibu Kunti Nalibrata. Sebelum genderang perang ditabuh, sebenarnya Prabu Salya dan pasukannya sudah akan bergabung dengan kubu Pandawa, tapi apa daya, ia di tengah jalan diperdaya oleh utusan Duryudhana yang menyampaikan pesan darurat bahwa Banowati sakit keras. Walhasil, langkah mantap yang diayun pun berbelok masuk perkemahan Kurawa. Atas bujuk rayu puteri kesayangan dan menantu sulungnya, terperangkap Prabu Salya dalam janji ucap lisan akan membela Kurawa, meski hatinya condong pada Pandawa yang sangat dicintainya.
Maka jangan salahkan Salya, bila bertempur pun setengah hati. Meski Aji Chandrabirawa sudah dikerahkan, yang diserang hanya para prajurit kecil dan tamtama yang bernasib naas harus berhadapan dengan ribuan siluman yang terlahir dari tetesan darah siluman lain yang terluka, makin lama makin banyak, korban kian berjatuhan! Sri Kresna cemas, Salya segera harus dihentikan. Tapi hanya ksatria berdarah putih yang sanggup menghentikan Prabu Salya.
Sementara, sejatinya Salya hanya menunggu datang titisan dari Resi Bagaspati, yang juga titisan Sukrasana, adik dari Bambang Sumantri yang tampan tapi malu punya adik buruk rupa, lalu tanpa sengaja sang adik tewas dibunuhnya. Salya sendiri adalah titisan dari Sumantri, patih dari Prabu Arjuna Sasrabahu, raja di Kerajaan Maespati yang terkenal pada zaman Ramayana. Dulu Sumantri tewas di tangan Raja Alengka, yakni Rahwana. Di zaman Mahabharata, Sumantri menitis pada Narasoma. Sementara Sukrasana meraga sukma kepada raksasa begawan, Resi Bagaspati, yang buruk rupa tapi punya puteri hasil puja, Pujawati, yang cantik jelita dan selalu memimpikan Narasoma sebagai pria idaman di hatinya.
Takdir mempertemukan kembali Sukrasana dan Bambang Sumantri. Resi Bagaspati menjodohkan Narasoma dengan Pujawati. Narasoma yang semula menolak karena mengira puteri raksasa pasti wujudnya pun raksasi, ternyata terkesima melihat kecantikan dari Pujawati. Akhirnya bersedia untuk menikah. Hari-hari bahagia dilalui sepasang insan yang dimabuk asmara. Hanya ada satu ganjalan di hati Narasoma, dan gundah gulana itu dibaca oleh sang belahan jiwa tergurat di raut wajah pujaan hatinya tercinta. Awalnya Narasoma selalu menghindar, namun Bagaspati yang waskita sudah mengerti, dirinyalah pokok masalahnya.
Narasoma sang putera mahkota Mandaraka tentulah malu mempunyai mertua berwujud seorang raksasa. Sang resi mafhum, bagi pangeran dari kerajaan, pencitraan berpengaruh lebih besar dibanding kehidupan di padepokan di pelosok pedalaman yang bernafas kedamaian.
Maka setelah memberikan wejangan yang berguna, Bagaspati menitipkan puterinya yang lalu diberi nama Setyawati, perlambang istri setia yang mendampingi suami, serta menganugerahkan wasiat yang luar biasa, yakni puteranya dalam wujud siluman raksasa, yang kasat mata namun tangguh digdaya, bernama Chandra Birawa, agar menyatu sejiwa dengan diri Narasoma. Pada saat dibutuhkan, Chandra Birawa bisa dipanggil dan muncul keluar untuk mengalahkan lawan Narasoma. Kelebihan Chandra Birawa adalah setiap kali terluka, tiap tetesan darahnya akan melahirkan raksasa baru yang tidak kalah trengginasnya, dan begitu seterusnya! Namun Bagaspati juga wanti-wanti, bahwa Narasoma harus berhati-hati terhadap seorang ksatria berhati lurus sehingga bagai berdarah putih. Satria berhati pandita, alias Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu itulah yang bakal bisa mengalahkan Ajian Chandra Birawa sekaligus menjemput naas ajalnya! Sebab sejatinya, Resi Bagaspati akan menitis padanya, dan Sukrasana akan datang untuk menjemput kakaknya tercinta, Sumantri, kembali bersama ke alam swargaloka!
Maka dalam kegamangan, Prabu Salya kini menanti takdir yang tak bisa dihindarinya. Itulah saat kereta kencana Yudhistira, sulung Pandawa, putera anugerah Bathara Dharma, yang sudah tersohor keluhuran budi pekertinya, selalu menjunjung tinggi kejujuran dan membela kebenaran, menghampiri perlahan lalu berhenti di dekatnya…
Yudhistira dalam kesantunan yang luar biasa, menghormat kepada Salya, yang disambut dengan gembira, sebab getaran di hati yang menggeletarkan sekujur tubuh tua tak bisa dibohongi. Inilah saat dijemput yang dinanti! Di mata Prabu Salya, yang datang bukan Yudhistira. Bagi Sumantri, itulah Sukrasana, adik yang sebenarnya disayanginya tapi selalu dihindari sebab buruk rupanya. Kini, Sumantri tak lagi bisa mengelak darinya. Maka tak ada lain, selain mempersilakan Yudhistira untuk melakukan tugasnya!
Namun Yudhistira tak hendak melukai tetua yang notabene masih pamannya juga. Dia pasrah menanti apapun yang akan dilakukan Salya pada dirinya. Salya sebagai orang tua tentu tak sampai hati. Tapi dia juga sadar, sebagai seorang ksatria dan panglima perang balatentara Kurawa, Salya harus melaksanakan tugasnya! Maka sambil tetap menghormati lawan, ia pun melepaskan panah saktinya!
Keajaiban terjadi!
Jangankan melukai, panah itu tak sanggup mengenai tubuh Yudhistira! Justru terpental, berbalik! Secepat kilat melesat, menghunjam deras ke dada Prabu Salya! JLEBBB!!! Maka demikianlah, Salya sang singa perang tua nan gagah perkasa itu akhirnya gugur perlaya oleh senjata sendiri, melalui perantaraan Yudhistira, sang ksatria yang berhati tulus, bersih, suci, menjemput kehormatan tertinggi seorang ksatria:
Gugur di Medan Laga!
Salya tak menyesali kematiannya. Ia sepenuhnya menyadari peranan dalam kisah hidupnya. Pengorbanan Salya membuka gerbang penutup kisah dan mengantarkan kemenangan pada pihak Pandawa!
Kebenaran pasti menang!!!
http://fiksi.kompasiana.com/dongeng/2012/03/20/salya-sang-panglima/
Jangan Lupa Di Like Ya Gan