Fashingnet.com Saat didirikan, bangunan itu diberi nama Masjid Al-Hasan. Namun, orang lebih sering menyebutnya masjid terapung karena bangunan itu berdiri di atas laut. Masjid terapung berada di ujung perkampungan nelayan Borobudur II, Kelurahan Padarni, Manokwari Barat.
Masjid itu didirikan pada 2000 atas prakarsa La Ode Caludin, pria asal Buton yang menjadi ustad di perkampungan itu. "Kawasan ini dulu dikenal angker karena sering terjadi pencurian," kata Caludin saat ditemui pekan lalu di kediamannya.
Saat itu Caludin baru saja berbuka puasa. Pria 43 tahun ini mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya dengan pematik. Duduklah dia di atas menghadap ke laut. Tepat dua meter di bawahnya, delapan perahu ditambatkan pada tiang rumah.
Perkampungan Borobudur II sudah ada sejak 1970-an. Saat itu penghuninya masih beberapa orang dan sebagian besar adalah warga asli Papua. Memasuki 1980-an, mulai banyak pendatang yang menetap dan beranak-pinak di sana. "Sebagian besar muslim asal Buton," kata Caludin.
Lama-kelamaan, Borobudur II dianggap sebagai perkampungan nelayan muslim. Mereka menjadi minoritas karena jumlah umat Nasrani di Manokwari sangat dominan. Ini semua tidak lepas dari peranan misionaris asal Jerman, Ottow dan Geissler.
Kedua misionaris itu menginjakkan kaki di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855. Sejak itu, seluruh penduduk Manokwari dan sekitarnya menganut ajaran Protestan dan Manokwari mendapat julukan Kota Injil.
Menurut Caludin, dia datang ke Borobudur II pada 1993. Saat itu, meski berprofesi sebagai nelayan, warga jarang yang melaut. "Mereka lebih suka mabuk-mabukan dan berjudi," katanya.
Kondisi itu membuat Caludin prihatin. Dia memeras otak untuk mencari cara memerangi penyakit masyarakat itu. "Saya lalu mendirikan organisasi nelayan pada 1996, namanya Tuna Cakalang," katanya. Organisasi ini giat mengajak masyarakat kembali melaut dan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. "Kami juga membentuk diskusi kampung untuk membuka pikiran warga agar lebih rajin ke masjid."
Namun, untuk beribadah di masjid, mereka harus menempuh jarak lebih dari 2 kilometer. Sebab, masjid terdekat berada di kelurahan tetangga. Inilah yang belakangan membuat Caludin berpikir untuk mendirikan masjid di Borobudur II.
Ide Caludin ternyata mendapat sambutan dari warga. Lokasi yang dipilih untuk mendirikan masjid berada di ujung kampung. Tempat itu sebelumnya digunakan anak-anak untuk belajar mengaji. Mahmud, pemilik lahan, juga mendukung rencana pembangunan masjid itu. "Awalnya berdiri musala dulu, baru kemudian masjid," kata Abu Rumkel, ketua pembangunan masjid.
Arsitektur Masjid Al-Hasan sangat sederhana. Berdinding papan dan langsung menyambung dengan rumah warga. Hanya sepuluh langkah dari pintu depan rumah Mahmud, masjid itu sudah bisa dijangkau. "Maklumlah, tidak ada bantuan pemerintah," ujar Mahmud.
Pada 2008, gempa sempat melanda Manokwari. Saat itu banyak bangunan yang roboh digoyang lindu. Namun, masjid Al-Hasan tetap tegak. "Bangunan ini mendapat lindungan dari Yang Maha Kuasa," kata Abu.
Abu sebenarnya berharap ada bantuan dari pemerintah untuk memugar masjid itu. "Kami pernah melayangkan surat permohonan bantuan, tapi belum mendapat tanggapan," kata dia.
Wakil Bupati Manokwari Robert Hammar mengatakan pemerintah sebenarnya sudah mengucurkan bantuan untuk perbaikan tempat ibadah. Bantuan itu diserahkan langsung kepada pengurus masjid dan gereja atau organisasi keagamaan. "Pemerintah menganggarkan Rp 700 miliar," katanya.
Sayangnya, kata Robert, bantuan itu kerap disalahgunakan. "Jadi, sekarang kami batasi," katanya. Untuk pembangunan masjid di wilayah Borobudur, ia belum mengetahuinya secara pasti. "Nanti saya cek."