fashingnet.com-Bangli - Pura Ulun Danu Batur di Desa Kalanganyar, Kintamani, Bali, tak hanya menjadi yang kedua tersakral di Bali setelah Besakih. Di dalamnya terdapat kelenteng yang jadi tempat beribadah umat Tionghoa di Bali.
Minggu (21/10/2012) adalah hari terakhir saya menjajal Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Waktu itu, saya bersama beberapa wartawan meliput Festival Danau Batur II di Dermaga Desa Kedisan.
Awalnya, saya mendengar nama Pura Batur selintas saja dari warga setempat. Hingga akhirnya I Wayan Mertha, Koordinator Destination Management Organization (DMO) Batur-Kintamani, menceritakan keistimewaan pura ini.
"Pura ini bukan cuma disembahyangi orang Hindu di Bali saja. Di dalamnya ada kelenteng yang jadi tempat sembahyang orang Tionghoa," kata I Wayan.
Berbekal dua kalimat itu, saya dan rombongan wartawan menyempatkan diri berkunjung ke Pura Ulun Danu Batur. Lokasinya di Desa Kalanganyar, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Tepat di sebelah timur Jalan Raya Denpasar-Singaraja.
Dinding luar pura ini sangat panjang. Ukiran khas Bali menyambut saya dari kejauhan. Masuk ke dalam pura, tak dipungut biaya sedikit pun. Anda hanya perlu menyewa kain untuk menutupi bagian bawah tubuh, apalagi yang mengenakan celana atau rok pendek. Harga sewanya tak sampai Rp 15.000.
Yang menemani saya menjelajah pura adalah Putu Gayatri, Kasie Wilayah Bali & NTB Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sambil berkeliling, Bu Gayatri menjelaskan beberapa hal umum tentang Pura Ulun Danu Batur.
"(Pura ini-red) tersakral kedua setelah Pura Besakih. Dulu lokasinya bukan di sini, tapi di kaki Gunung Batur situ," kata wanita yang biasa dipanggil Bu Gaya ini.
Rupanya pada 1926, pura dan Desa Batur ini hancur lebur akibat letusan Gunung Batur. Satu-satunya bangunan yang bertahan adalah pura inti yang ditujukan untuk Dewi Batari Ulun Danu, dewi danau dan sungai. Ulun Danu berarti "kepala danau".
Sejak itu, warga Desa Batur mengangkut segala yang tersisa dari kaki Gunung Batur ke Desa Kalanganyar. Inilah Pura Ulun Danu Batur sekarang, sebuah kompleks pura dengan total 285 pura dan paviliun yang tersebar di 9 area. Area utama adalah Pura Panataran Agung Batur yang persis terletak di bagian tengah.
Siang itu hanya ada kami dan beberapa turis asing yang berkunjung. Makin masuk ke bagian dalam, terlihatlah bangunan itu. Sebuah pura yang beralih fungsi menjadi kelenteng.
Ornamen khas Tionghoa memenuhi bangunan ini. Ukiran naga, kaligrafi China, dan warna merah tampak mendominasi. Bersanding dengan pura dengan sesajen khas Bali di bagian tengah, kelenteng ini tampak kontras namun tetap harmonis.
Persis di depan klenteng, seorang kakek yang mengenakan kacamata hitam dan udeng (penutup kepala khas Bali-red), tampak asyik duduk di pelataran. Bu Gaya mengajaknya berbincang, menanyakan beberapa hal seputar pura ini. Tak disangka-sangka, kakek ini punya banyak cerita seputar tradisi dan kepercayaan Hindu di pura ini. Termasuk, tentang kelenteng yang ada di bagian dalam pura.
"Sejak dipindah ke sini, awalnya kelenteng ada di luar pura. Tapi orang Tionghoa yang profesinya pedagang itu tiba-tiba dagangannya nggak laku begitu kasarnya. Sampai ada yang menyarankan kelentengnya dipindah ke dalam pura," kata Jero Mangku Sumatera yang berumur 61 tahun itu.
Uniknya, kelenteng di dalam Pura Ulun Danu Batur tak terlalu ramai waktu Imlek. Kelenteng ini justru dibanjiri warga Tionghoa saat hari raya agama Hindu yakni Galungan dan Kuningan, juga beberapa upacara adat di wilayah tersebut.
"Orang Batur dan orang Tionghoa itu bersaudara," tambah sang kakek yang biasa dipanggil Jero Sumat itu.
Cerita Jero Sumat tak sampai di situ. Masih banyak keistimewaan lain yang dimiliki Pura Ulun Danu Batur. Terlebih lagi, karena Kintamani menjadi satu-satunya daerah yang punya akulturasi budaya dengan China. Hal ini berkaitan dengan cerita Raja Balingkang yang menikah dengan seorang putri Tionghoa.
Jero Sumat juga menambahkan, Bangli adalah satu-satunya tempat yang punya pemangku (pemimpin upacara adat-red) anak-anak. Saat upacara adat berlangsung, anggotanya seperti kesurupan untuk menyampaikan wahyu kepada anak-anak yang jadi pemangku. Jero Sumat sendiri telah menjadi pemangku sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.
"Di sini Pak Jero Wacik jadi pemangku adat waktu kelas 1 SD. Sampai sekarang dia tetap jadi pemangku, sampai kapan pun jadi pemangku," tutupnya.
Berikut kumpulan fotonya :
Bagian depan klenteng di dalam kompleks Pura Ulun Danu Batur
Pintu klenteng dengan ornamen dan kaligrafi China
Pintu gerbang masuk Pura Ulun Danu Batur
Bagian dalam pura
Bagian dalam kompleks pura
Jangan Lupa Di Like Ya Gan
Agen Poker Online Agen Judi Online Agen Poker Online Agen Poker Agen Casino Online