Negara Islam Indonesia (NII) menganggap seluruh ibadah umat Islam di Indonesia tidak sah. Itulah pengakuan AN, 30 tahun, mantan pengikut NII, kepada Tempo, Senin 25 April 2011.
Menurut AN, dia pertama kali mengenal NII pada April 2000. Saat itu dia baru lulus dari STM Negeri di Surabaya. AN diajak teman sekolahnya bernama Ribi untuk mengikuti sebuah pengajian. "Pesertanya cantik-cantik, katanya kamu tidak punya pacar," kata AN menirukan ajakan Ribi. Ribi sendiri sudah menjadi pengikut NII dan telah berganti nama menjadi Ridwan.
AN pun menerima ajakan mengikuti pengajian di sebuah rumah di kawasan Rangkah Gang II Buntu Surabaya. Di rumah itu, tambah AN, terdapat plakat nama sebuah perguruan silat. "Mereka itu berkedok perguruan pencak silat," ujar pria tinggi-besar ini.
Saat pengajian itu, AN langsung ditawari beberapa perempuan pengikut NII untuk memilih salah satu di antara mereka. Jika tertarik, saat itu juga AN dijanjikan langsung akan dinikahkan dengan wanita pilihannya itu.
Saat itu, dengan alasan masih takut sama perempuan, AN menolak tawaran nikah. Setelah menolak dinikahkan, AN bersama 5 orang lainnya lantas diajak masuk ruangan dan mulai dilakukan proses cuci otak.
AN menambahkan, cuci otak dilakukan oleh 3 mubaliq NII. Di ruangan cuci otak itu, salah seorang mubaliq menggambar di papan bahwa Indonesia itu diibaratkan Mekkah, dan NII itu adalah Madinah. Karena itu, untuk menjadi Islam yang benar, harus hijrah dari Indonesia ke NII.
"Lalu saya diajak ke Jakarta karena syarat hijrah harus ke Jakarta," katanya. Lalu AN mengaku diwajibkan membayar mahar sebesar Rp 1 juta. Uang itu, menurut mubaliq NII, sangatlah murah. Apalagi dengan hijrah ke NII, sama artinya melakukan ibadah haji. "Bayangkan saat itu haji harus bayar lebih dari Rp 20 juta, tapi dengan Rp 1 juta sudah sama dengan haji," ujar AN.
Dalam ceramahnya, mubaliq NII juga menilai seluruh masyarakat Indonesia ibarat apel yang ada di tong sampah. "Apelnya tidak najis, tapi kalau mau dimakan ya harus diangkat dari tong sampah, caranya ya masuk NII."
Karena dianggap tong sampah inilah, AN mengisahkan, apa pun yang dilakukan umat Islam di Indonesia tidaklah sah. Mulai salat, zakat, haji, infaq, atau apa pun kalau tidak masuk NII maka tidaklah sah, sehingga kalau tidak masuk NII mending tidak usah salat sekalian.
Doktrin tidak perlu salat inilah, yang membuat AN goyah dan mulai tidak tertarik dengan NII. Apalagi, sejak ikut pengajian, beberapa pengurus NII sering mendatangi rumah AN untuk menagih uang Rp 1 juta sebagai mahar.
"Saya diminta jual sepeda motor, tapi saya tolak. Tapi, saya terpaksa mengamen dan hasilnya saya setor ke NII," kata AN. Saat itu, AN yang masuk NII langsung diberikan jabatan sebagai Ketua Polisi Surabaya. "Di Surabaya NII butuh polisi, camat, dan lurah. Tubuh saya kan besar jadi mereka tertarik menjadikan saya sebagai polisi," ujarnya.
AN juga diancam, jika keluar dari NII, dia akan dihukum pancung. Setelah setengah tahun aktif di NII, AN pun memutuskan keluar. "Saya tertekan karena dikejar-kejar bayar Rp 1 juta. Selain itu saya juga tidak sepakat kalau dilarang salat," ujarnya.