Putri dari terdakwa kasus Bank Century, Arga Tirta Kirana yakni Alanda Kariza kembali menulis surat. Namun kali ini Alanda khusus menulis surat yang ditujukan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
|
Mantan Kepala Divisi Legal Bank Century, yang juga menjadi terdakwa dalam kasus Century, Arga Tirta Kirana (berkerudung) didampingi anaknya, Alanda Kariza, hadir dalam sidang pembacaan pledoi atau pembelaan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Kamis (10/2/2011). Arga Tirta Kirana dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar atas dakwaan keterlibatan kasus pemalsuan surat gadai di Bank Century. Tuntutan ini lebih tinggi dari tuntutan dua orang bosnya, Hermanus Hasan Muslim (Dirut Bank Century), dan Robet Tantular (Pemilik Bank Century), yang dituntut delapan tahun penjara. |
Isinya berupa kegundahan hari Alanda akan vonis Ibundanya yang akan dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 24 Maret 2011 nanti.
Alanda tetap yakin Ibunya tidak bersalah. Namun kekhawatiran terbesarnya adalah tatkala mengetahui hukum di Indonesia kini tidak berpihak mana yang benar dan mana yang salah. Imbasnya, anak-anak muda seperti dirinya yang tak memiliki uang dan kekuasaan akan menjadi tumbal hukum di tanah air jika hukum tidak ditegakkan secara benar.
Berikut surat Alanda Kariza untuk Presiden SBY yang dibuat Alanda pada hari Minggu (20/3/2011) yang dimuat dalam blok miliknya.
SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Jakarta, 20 Maret 2011
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Saya mengerti bahwa tulisan seorang pemuda kemungkinan besar tidak akan mendapat tanggapan mengingat banyaknya masalah di negeri ini yang tentunya penting untuk ditanggulangi. Namun, ingatkah Bapak akan perkataan Bung Karno, di mana ia berjanji bahwa dengan beberapa pemuda saja, ia bisa mengguncang dunia? Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, dan Reformasi adalah cerita-cerita yang kami dengar ketika kami tumbuh dewasa, bahwa pemuda bisa menciptakan perubahan dan bahwa ada harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Sejak kecil, kami diwajibkan untuk menghafal lima sila yang menjadi ideologi negeri ini, termasuk sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada kenyataannya, banyak kejadian di negeri ini yang bersifat kontradiktif terhadap sila tersebut.
Saya merupakan satu dari segelintir pemuda yang dulu percaya bahwa masih ada harapan bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar. Berbekal optimisme serta keinginan untuk menjadikan Indonesia negara yang lebih baik, pemuda Indonesia berkarya – tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Meskipun saya sering mendengar berita mengenai ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, pada awalnya saya tidak percaya bahwa implementasi hukum Republik Indonesia seburuk itu. Sampai pada suatu ketika, ketidakadilan tersebut menimpa orangtua saya. Di depan mata kepala saya sendiri, saya melihat bagaimana keadilan di negara ini berpihak hanya pada orang-orang tertentu – pada orang-orang yang memiliki hal yang lebih, termasuk uang dan kekuasaan.
Ibu saya, Arga Tirta Kirana, dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit di Bank Century, padahal beliau tidak memiliki kewenangan dalam proses pertimbangan, pemutusan, maupun pencairan kredit, serta tidak tergabung di dalam Komite Kredit. Hal itu baru satu dari sekian banyak kejanggalan dalam implementasi hukum yang dialami beliau. Ibu saya dijadikan kambinghitam untuk menyelamatkan individu atau bahkan golongan yang memiliki kekuasaan lebih; dan sejauh ini belum menemukan titik terang menuju keadilan kendati berbagai proses hukum telah dijalani sejak April 2009.
Apa yang terjadi pada Ibu saya bisa terjadi pada siapa saja, dan apa yang mengancam harapan dan optimisme saya pun dapat menghabisi keinginan pemuda Indonesia lainnya untuk berkarya. Selama ini, masa depan Indonesia sudah saya anggap sebagai masa depan saya juga. Saya berharap, sampai kapanpun, hal tersebut tidak akan berubah – bahwa Indonesia dan saya adalah kedua hal yang tak terpisahkan.
Selama beberapa tahun ke belakang, saya berkesempatan untuk bekerjasama dan bertemu dengan begitu banyak pemuda Indonesia yang brilian dan berbakat, yang mencetak prestasi dan membawa nama Indonesia ke kancah regional maupun internasional. Dengan mata kepala saya sendiri pula, saya bisa menyaksikan pergerakan pemuda Indonesia yang membanggakan. Bisa melihat karya mereka membuat saya percaya bahwa Indonesia sangat bisa memiliki masa depan yang cerah. Generasi yang sedikit lebih tua dari kami pun sama hebatnya, tetapi satu persatu dari mereka telah ‘gugur’ dari Indonesia. Banyak dari mereka yang mengagumi optimisme kami yang masih aktif bergerak untuk “Indonesia yang lebih baik” – di mana harapan mereka sudah mati ketika mereka mengetahui sisi lain dari Indonesia, termasuk sistem hukum yang dalam penerapannya tidak secara konsisten menjunjung tinggi keadilan.
Oleh sebab itu, saya khawatir dengan masa depan pemuda Indonesia. Apakah itu berarti, kami – pemuda Indonesia – yang tidak memiliki uang dan kekuasaan, akan memiliki nasib yang sama? Bahwa keberadaan kami juga akan tergilas oleh hukum yang berpihak pada pihak yang membayar lebih, atau punya kekuasaan lebih tinggi? Apakah itu berarti, kami yang berkarya akan terusir dari negara ini apabila kami menginginkan Indonesia yang lebih baik dari hari ini?
Memimpin dan membangun negara memang sebuah perjuangan yang tidak mudah, dan sudah terlalu banyak orang yang terjebak dalam dilema untuk memilih antara mempertahankan masa depan mereka ataukah masa depan negeri ini. Seringkali, pada akhirnya, pilihan kedualah yang harus dikorbankan karena ketidakadilan. Sudah terlalu banyak bibit unggul Indonesia yang ‘layu’ tertimpa hal ini. Bukan karena mereka menyerah dalam memperjuangkan Indonesia, tetapi karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berkarya dan menjaga integritas mereka di negeri ini. Jangan jadikan masyarakat Indonesia, terutama pemuda, sebagai korban dari perebutan kekuasaan dan pengerukan kekayaan nusantara. Paling tidak, kami masih punya harapan. Pemudalah yang akan membangun negeri ini di masa depan. Namun tentunya, masa depan ditentukan oleh hari ini. Masa depan dimulai dari sekarang. Kami membutuhkan masyarakat dan pemerintah untuk membiarkan harapan itu tetap menyala, agar tidak mati dimakan korupsi maupun ketidakadilan.
Saat ini, saya menghitung hari sampai Hari Kamis, 24 Maret 2011, di mana vonis untuk Ibu saya yang tidak bersalah akan dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Harapan saya adalah untuk benar-benar melihat perwujudan dari “Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia”, sehingga janji tersebut tidak hanya akan berhenti dalam lagu wajib nasional yang setiap tahun lantang kita nyanyikan. Saya ingin “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak cuma terucap di dalam Pancasila – tapi juga pada implementasinya, pada hukum milik kita.
“Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’,” ujar Bung Karno dalam Pidato BPUPKI 1 Juni 1945.
Bapak Presiden, pertahankan Republik Indonesia di mana ‘semua buat semua’, keadilan untuk semua. Semoga Ibu saya, dan seluruh warga Negara Indonesia, bisa mendapatkan keadilan secara utuh.
Hormat saya,
Alanda Kariza
tribunnews.com